MANUSIA DI JAWA

 Fosil Manusia di Jawa
Kepulauan Nusantara merupakan suatu kawasan yang sangat muda. Kurang lebih 60 juta tahun yang lalu terjadi suatu gempa bumi yang dahsyat sekali di sekitar pulau Natuna. Gempa ini begitu besar, sehingga mengangkat sebagian dasar laut menjadi daratan, yaitu seluruh rangkaian kepulauan mulai dari Sumatera melalui pulau Jawa, Bali, Sumbawa, Flores, Maluku sampai ke kepulauan Filipina. Lempeng tempat letaknya kepulauan Nusantara terjebak oleh empat lempeng lainnya yang tetap menekan dari Barat,  Utara, Timur dan Selatan. Maka tidak mengherankan, bahwa kepulauan kita ini masih agak tidak stabil dan penuh gunung api di pinggirnya. Bentuk kepulauan Nusantara masih jauh berbeda  dari sekarang.
          Manusia tertua, yang dikenal di dunia, berumur 1.8 juta tahun. Fosil manusia ini adalah tengkorak dari lima individu, tempat pene-muannya di Perning, Mojokerto dan ke dalam ilmu paleoantropologi dikategorikan sebagai Pithecanthropus modjokertensisatau menurut terminologi baru disebut Homo erectus modjokertensis. Inilah awal hunian manusia di pulau Jawa. Homo erectus hidup di Jawa dan rupanya di sebagian pulau lain juga-- sampai kurang lebih 200 ribu tahun yang lampau. Zaman Homo erectusberakhir dengan Homo erectus soloensis. Dalam kurun waktu itu Homo erectusmengalami evolusi terutama ke arah pembesaran volumen otak.
          Homo erectus hidup dari mengumpulkan hasil tanah dan berburu. Alat yang diproduksinya bercorak paleolitis.
          Apa yang terjadi dengan Homo erectus ini, sampai sekarang kurang jelas. Ada kemungkinan, bahwa ia punah, ada kemungkin­an bahwa mereka bermigrasi ke arah Timur dan Tenggara sampai ke Australia, ada kemungkinan lain bahwa ia tidak tahan per­saingan dengan Homo sapiens. Namun untuk semua hipotesis ini tidak ada bukti, karena fosil yang berikut jauh lebih muda, yaitu 40 ribu tahun. Ini adalah Homo wa­djakensis, yang jelas tergolong se­bagai Homo sapiens. Apa yang terjadi di kepulauan kita ini antara 200.000 dan 40.000 tahun yang lampau, masih merupakan suatu misteri. Belum ditemukan fosil manusia dari masa itu (Jacob 1967; 197?).
          Jacob (1967), manusia dari Wajak memiliki ciri badani inter-medier, yakni baik ciri Austro-melanesid maupun ciri Mongolid primitif. Jacob berpendapat, bahwa manusia dari Wajak merupakan leluhur penduduk seluruh Nusan-tara. Dengan ini manusia dari Wajak dapat dipandang sebagai orang jawa yang tertua. Namun sejauh mana Jacob benar, sulit dapat diuji, karena fosilnya sedikit atau malah sama sekali tidak ada. Untuk sementara waktu interpola­si Jacob itu harus diterima, karena tidak ada bukti lain berupa fosil manusia.
          Dari waktu itu telah ada bukti berupa alat batu bahwa sebagian besar kepulauan Indonesia telah dihuni. Menurut kebudayaannya manusia telah masuk tahap Paleolit akhir, di mana masih dipergunakan alat batu, namun alat yang sudah agak sempurna. Batu itu digabungkan dengan kayu, sehingga tercipta pemukul, tombak, dan panah. Pada masa itu pula telah mulai berkembang hortikultura di kawasan Asia Tenggara. Mula-mula didomestikasi ubi-ubian, namun beberapa waktu kemudian telah ditanam tumbuhan berbijian seperti padi. Domestikasi binatang baru ter-laksana dalam periode berikut. Sekitar 3.000 tahun yang lalu perkembangan kemahiran mengerjakan logam (Jacob 1976).
          Fosil-fosil lainnya baru ber-asal dari masa 4-3 ribuan tahun yg lampau. Adanya masa agak pan-jang antara fosil tidak berarti bahwa fosil ini tidak ada. Sebab yang sebenarnya ialah bahwa Indonesia memiliki hanya beberapa ahli antropologi ragawi dan mereka pun tidak mempunyai uang cukup untuk mengadakan penelitian secara sistematis baik di Jawa maupun di pulau-pulau lainnya. Malah agak sering terjadi, bahwa jika pada galian untuk membangun perumahan. Ditemukan tulang-tulang, yang da-pat merupakan sumber informasi baru, maka hal ini tidak dilaporkan kepada instansi yang bersangkutan, agar pekerjaan jangan terganggu. Dengan demikian banyak informasi masa lampau hilang selamanya.
          Terpaksa para ahli berusaha mengisi tampat kosong dalam puzzle ini dengan interpolasi dari data fosil-fosil yang di negara tetangga.
          Berdasarkan komparasi ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebagian besar kawasan Indonesia pada masa Mesolit diduduki oleh anggota ras Melanesid, Australid dan Weddoid, berarti dari orang berwarna kulit agak gelap dan rupanya berambut berombak atau ikal. Mulai dengan Neolit jelas bertambah unsur rasial berciri Mongolid. Hal ini merupakan tanda adanya migrasi populasi dengan ciri Mongolid dari Utara ke arah Selatan (Jacob 1967; Glinka 1981).
          Proses ini dapat dimengerti, jika diperhatikan, bahwa pada zaman Pleistosin permukaan laut turun, sehingga Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Bali tergabung dengan daratan Asia merupakan satu benua, terkenal sebagai Sundaland, sehingga migrasi dari Utara ke Selatan tidak merupakan masalah besar. “Jembatan” darat ini akhirnya putus  sekitar 11.000 tahun yang lampau. Maka selama beberapa puluh ribu tahun migrasi ke arah selatan ini dapat berlangsung terus (Bemmelen 1949; Glinka 1981; 1985; 1987).
          Karena kurangnya bukti be-rupa fosil, maka agak sulit mengatakan sesuatu yang pasti. Hanya diduga bahwa migrasi ini pasti tidak besar-besaran, sehingga dewasa ini proses ini dilihat lebih sebagai peresapan gen (gene flow) ke dalam populasi asli. Karena diduga bahwa banyak gen Mongolid dominan terhadap gen penduduk asli dan masanya agak panjang, maka populasi asli yang berciri Austromelanesid lambat-laun berubah dengan dominasi ciri Mongolid, seperti dapat kita saksikan dewasa ini antara lain pada populasi Jawa (Glinka 1981).

Dari Masa Sekarang
ke Masa Lampau

Sistuasi macam ini memaksa saya untuk mendekati seluruh masalah etnogensis dari aspek lain, yakni Membuat ekstrapolasi dari masa sekarang  ke  masa  lampau (Glinka 1978). Guna mencapai tujuan ini saya memperbandingkan data antropometris dari 110  populasi dari seluruh kawasan Indonesia, Ma-laysia, Taiwan, Filipina dan Madagaskar. Hasilnya ialah satu diagram raksasa, di mana semua populasi teratur menurut mirip badaninya.
Seluruh diagram terbagi jelas atas dua bagian besar: I dan II. Cluster I terdiri dari populasi yang menduduki pulau-pulau luar Nusantara, tambah populasi-populasi Malayu dari pulau Taiwan; cluster II mengandung populasi dari Kalimantan, Madagaskar dan populasi penduduk primitif dari Filipina.
          Berdasarkan pembagian ini saya menarik hipotesis, bahwa populasi dalam cluster I dan II ini merupakan dua kelompok, yang berkembang secara terpisah atau berasal dari migrasi yang berbeda.
          Cluster I terbagi lagi dengan jelas atas dua subcluster: A+B dan C+D+F. SubclusterA+B mengan-dung populasi dari NTT, Siberut, Tengger, Nias Selatan serta populasi Semang dan Senoi dari Malaka; subcluster C+D+F berisi populasi dari Nias,  Sipora, Sumatera, Jawa, Madura, Bawean, Bali, Lombok, dua popuasi dari Flotim, Tionghoa dari Indonesia dan populasi dari Taiwan. Inilah subcluster yang menarik minat kita, karena mengandung populasi Jawa.
            Subcluster A+B meliputi ter-utama populasi rasial bersifat Aus-tromelanesid.Subcluster C+ D+F mengandung populasi bersifat rasial jelas Mongolid. Subcluster inilah yang mendapat gen-gen dari populasi Mongolid dari arah Utara, sehingga akhirnya sendiri menjadi Mongolid.
          Hanya sekian dapat dikatakan berdasarkan penelitian antropologi ragawi dengan ekstrapolasi dari masa kini ke masa lampau. Bagaimana proses ini berlangsung secara rinci, hanya dapat dijawab oleh studi komparatif paleoantropologi berdasarkan fosil/kerangka yang masih tersimpan dalam tanah.

Waktu Terbentuknya Etni Jawa
Dari peninggalan puing bangunan, prasasti maupun sumber tertulis telah tersusun tahap-tahapan seja-rah dengan pengaruh Hinduisme, Budisme dan Islam serta pengaruh Barat. Namun kelompok etnis Jawa telah ada sebelum pengaruh dari luar ini. Kapan terjadinya? Untuk menjawab masalah ini perlu kita pindah ke linguistik historis komparatif.
          Linguistik historis komparatif memiliki beberapa metode untuk membandingkan bahasa-bahasa berbagai kelompok etnis. Salah satunya adalah komparasi melalui leksikostatistik, yaitu dengan menghitung perbendaharaan kata bersama dalam dua bahasa. Studi semacam ini menyangkut sebagian besar bahasa Malayo-Polinesia pernah dilakukan Dyen (1962; 1965). Dyen memberikan kebersamaan da-lam perbendaraan kata dalam bentuk persen. Berdasarkan persen-tase ini dengan asumsi, berapa lama waktu retensi (pertahanan kata yang sama dalam dua bahasa), kita dapat memperkirakan, kapan dua bahasa terpisah satu dari yang lain menjadi dialek dan akhirnya bahasa tersendiri. Bahasa merupa-kan komponen budaya yang amat penting, kelahiran suatu bahasa dapat dianggap sebagai kelahiran kelompok etnis yang bersangkutan.

No comments:

Post a Comment